Harian Lampung Co Id – Pembahasan mengenai tunjangan kinerja (tukin) dosen kembali mencuat dalam dunia pendidikan tinggi di Indonesia.
Persoalan ini mencerminkan realitas kompleks kesejahteraan dosen, terutama mereka yang belum memiliki sertifikasi dosen (serdos).
Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan tukin dosen, dan mengapa hal ini menjadi isu penting?
Awal Mula Pembahasan Tukin Dosen
Diskusi mengenai tukin dosen berawal dari Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Dalam implementasinya, tukin diberikan kepada ASN tenaga kependidikan administratif di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (kini menjadi Kemendiktisaintek).
Baca Juga : Intip Besaran Gaji Tukin Dosen 2025 Sesuai UU ASN Nomor 5
Namun, situasi ini berbeda bagi ASN dengan jabatan fungsional, seperti dosen.
Dosen ASN menerima gaji dan tunjangan profesi sebagai bagian dari penghasilan mereka.
Sayangnya, tunjangan profesi hanya diberikan kepada dosen yang telah lulus sertifikasi dosen (serdos).
Dengan keterbatasan kuota sertifikasi setiap tahunnya, banyak dosen belum tersertifikasi sehingga tidak berhak menerima tunjangan profesi.
Kesenjangan Penghasilan Dosen
Ketimpangan muncul ketika dosen yang belum memiliki serdos mendapatkan penghasilan yang lebih rendah dibandingkan tenaga kependidikan di institusi yang sama.
Hal ini memicu usulan agar dosen tanpa serdos juga mendapatkan tunjangan kinerja. Namun, sejak gagasan ini mencuat pada 2015, belum ada langkah konkret yang berhasil merealisasikan kebijakan tersebut.
Menurut Mendiktisaintek Satryo Soemantri Brodjonegoro, kendala utama terletak pada keterbatasan anggaran dan kuota sertifikasi.
Baca Juga : Tok, Anggaran Rp 2,5 Triliun Tukin Disahkan, Cek Besaran Tukin Dosen ASN dan Swasta
Hal ini menjadi tantangan besar dalam menciptakan keadilan penghasilan bagi para dosen.
Memahami Konsep Tukin Dosen
Tukin dosen sebenarnya merujuk pada penggantian tunjangan profesi bagi dosen ASN yang belum tersertifikasi.
Mengacu pada Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara (Perka BKN) Nomor 20 Tahun 2011, tukin dihitung berdasarkan evaluasi jabatan dan capaian kinerja.
Evaluasi ini bertujuan untuk menentukan nilai serta kelas jabatan secara adil, objektif, transparan, dan konsisten.
Dalam konteks dosen ASN, tukin juga harus mempertimbangkan beban kerja dan tanggung jawab sebagai tenaga pendidik.
Bagi dosen yang belum memiliki sertifikasi, usulan tukin dianggap sebagai solusi sementara untuk mengatasi kesenjangan penghasilan.
Besaran Tukin dan Tunjangan Lainnya
Berdasarkan Permendikbudristek No. 44 Tahun 2024, berikut adalah ketentuan mengenai besaran tunjangan profesi dosen:
- Tunjangan profesi dosen setara dengan satu kali gaji pokok dosen ASN.
- Tunjangan khusus dosen juga setara dengan satu kali gaji pokok ASN.
- Tunjangan kehormatan profesor setara dengan dua kali gaji pokok dosen ASN.
Untuk dosen non-ASN, gaji pokok yang menjadi acuan disesuaikan dengan golongan dosen ASN, yaitu:
- Asisten ahli: setara golongan III/b.
- Lektor: setara golongan III/c.
- Lektor kepala: setara golongan IV/a.
- Profesor: setara golongan IV/d.
Ketentuan ini menunjukkan upaya pemerintah dalam merumuskan kebijakan penghasilan yang mencerminkan tanggung jawab jabatan.
Upaya Realisasi dan Tantangan
Kemendiktisaintek telah mengajukan tambahan anggaran sebesar Rp 2,6 triliun kepada Kementerian Keuangan untuk memenuhi kebutuhan tukin dosen.
Dana ini mencakup pembayaran rapelan bagi dosen yang belum menerima hak mereka.
Satryo Soemantri Brodjonegoro optimis bahwa tukin akan cair pada 2025, tergantung persetujuan dari Kemenkeu dan DPR.
Selain itu, revisi peraturan terkait tukin dosen tengah dipersiapkan untuk memastikan implementasi yang lebih inklusif.
Fokusnya adalah membantu dosen yang belum memiliki serdos agar penghasilan mereka tidak jauh tertinggal dari tenaga kependidikan lainnya.